Penganut Agnostik di Indonesia (Kajian Konstitusi)
Abstract
Keberadaan kelompok agnostik di Indonesia memunculkan beberapa pertanyaan terkait dengan status semu yang disandangnya. Seorang agnostik menolak apapun segala bentuk dogma dan indoktrinisasi yang terdapat dalam agama atau ideologi apapun. Bagi masyarakat awam keberadaan kelompok agnostik terbilang cukup asing. Mengenai keberadaan kelompok anti-Agama tentu kembali merujuk pada gerakan Komunis pada masa lampau, hal ini tercermin dari banyaknya anggapan masyarakat yang menyimpulkan bahwa agnostik berasal dari rahim ideologi Komunis itu sendiri. Walaupun tidak ada keterkaitan yang signifikan, setidaknya sikap anti-Agama juga muncul dalam dialektika Komunis. Negara memberi jaminan pada setiap agama yang diakui. Setiap individu dijamin agar mengambil nilai pancasila dalam setiap kehidupannya dan dijamin dalam memiliki agama atau keyakinan yang diakui. Kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup hak untuk mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan dimana hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau tidak meyakini sama sekali suatu agama baik yang bersifat theistik maupun yang non theistik dan untuk memanifestasikan bentuk-bentuk ritual keagamaan baik sendiri-sendiri maupun di masyarakat dan di tempat umum atau pribadi seperti yang diatur di dalam HAM internasional. Kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapatkan landasan konstitusionalitasnya di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam UUD NRI 1945 setidaknya terdapat 4 (empat) pasal yang mengatur tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan yaitu Pasal 28 E, 28 I, 28 J dan 29. Pasal 29 ayat 2 lebih memberi titik tekan pada hak warga negara. Kata menjamin di dalamnya mengandung beberapa pengertian antara lain melindungi, memelihara dan melayani. Oleh karena itu, negara tidak boleh mendeskriminasi. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, disertai dengan kewajiban negara melindungi setiap warga negara untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, tanpa terkecuali penghayat keperyaan atau penganut agama-agama lokal.